Total Tayangan Halaman

Senin, 12 April 2010

TOKOH TAFSIR ISLAM

TOKOH TAFSIR ISLAM
• Biografi Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy
Lahir di Loksumawe, 10 Maret 1904 dan wafat di Jakarta 9 Desember 1975. Seorang ulama Indonesia, ahli ilmu fiqih, ushul fiqih, tafisr dan hadits dan ilmu kalam. Pendidikan agamanya dimulai dari pesntren milik ayahnya, kemudian beliau merantau dari pesantren ke pesantren di sumatera. Pada tahun 1926 beliau berngkat ke Surabaya untuk menjutkan pendidikannya di al-Irsyad. Di sini beliau mengambil pelajaran takhassus (spesialis) dalam bidang pendidikan dan bahasa selam dua tahun. Di sinilah pemikiran-pemikirannya mulai terbentuk dan berkembang sampai beliau ilut ormas Muhammadiyah.
Pada tahun 1951 beliau menetap di Yogyakarta dan mengkonsentrasikan diri dalam bidang pendidikan. Pada tahun 1960 beliau diangkat menjadi Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga. Kedalaman pengetahuan pengetahuan Islamnya membuat beliau diakui sebagai intelektual Islam. Pada tahun 1975 beliau memperoleh gelar doctor kehormatan (Honoris of Causa) dari IAIN Bandung dan IAIN Yogyakarta.
Seperti halnya ulama’ lain, be;liau berpendapat bahwa syari’at Islam bersifat dinamis dan elastic sesuai dengan perkembangan zaman. Syari’at yang bersumber dari firman Allah Swt ini kemudian dipahami oleh umat Islam dengan jalan ijtihad, untuk dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang berkembang di masyarakat. Beliau menawarkan gagasan ijtihad kolektif yang anggotanya bukan hanya ulama saja tetapi melibatkan ilmuan dari berbagai disiplin ilmu, agar dapat merumuskan sendiri fiqih yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Majid An-Nur sebuah kitab yang ringkasa namun lengkap menjelaskan apa yang dimaksud tiap-tiap ayat pembahasan ayat disertai keterangan hadits, dalil, pendapat yang kuat. Majid An-Nur merujuk kepada sejumlah tafsir besar yaitu Tafsir Ibnu Katsir, Al-Manar, Al-Qasimi, Al-Maraghi danAl-Wazhim. Adapun metode yang digunakan adalah campuran antara bil ma’tsur dan Bil Ra’yi.
Sedangkan tampilam teknis Majid An-Nur surat An-nisa:13:176 mencakup sistematis sebagai berikut:
1. Menuliskan serangkaian ayat yang akan ditafsirkan yang meliputi suatu tema dari suatu surat berdasarkan tertib mushaf usmani.
2. Menerjemahkan makna ayat ke dalam nahasa Indonesia dengan cara yang mudah dipahami, dengan memeprhatikan makna-makna yang dikehendaki masing-masing lafal.
3. Generalisasi nilai-nilai Al-Qur'an yang memperhatikan berbagai tujuan yang ingin dicapai oleh ayat tersebut kemudian memeberikan argument sebagai pendukung pemahaman tersebut dengan memberikan ayat/surat/hadits yang sejalan dan mendukung nilai-nilai tersebut.
4. Menerangkan sebab-sebab turunnya ayat, jika memeproleh atsar shahih.
5. Dituntut dengan memberikan kesimpulan.
6. Mengungkapkan kandaungan hukum syari’at disertai argument para fuqaha’.
Sedangkan pendekatan yang digunakan mufasir adalah tekstual-teologis dan historis-deskriptif.
         •                   •      


Contoh tafsir dengan pendekatan tekstual-teologis
Tilka hududullah : yang demikian adalah batasan-batasan yang ditetapkan Allah. Hukum dan ketentuan tentang harta waris telah diuraiokan adalah syari’at-syari’at Allah, di mana kita diperintahkan untuk mentaatinya dan kita dilarang meninggalkannya. Sepanjang masih dalam batasan-batasan yang ditentukan Allah, maka kita dipandang tetap dalam ketaatan. Apabula melampaui atau melanggar, kita bisa terjerumus ke dalam perbuatan maksiat. Menjadikan kita orang yang durhaka.
Yang dimaksud dengan “yang demikian iu adalah batasan-batasan Allah” adalah segala apa yang dijelaskan dari awal surat sampai ayat yang dibahas ini, baik mengenahio harta anak yatim, hukum-hukum suami istri maupun waris.
“Barang siapa menaati (syari’at) Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai dan mereka kekal di dalamnya”
Barang siapa mengikuti dan menaati segala apa yang disyari’atkan Allah yang disampaikan melalui perantara Rasul serta mengikuti apa yang diteladankan Rasulullah, maka Allah akan memasukkan ke dalam surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai dan mereka kekal di dalamnya.
Disebutkan “taat kepada Allah dan taat kepada Rasul” secara beriringan untuk memeberi pengertian bahawa manusia tidak cukup menegndalikan diri kepada akal dan ilmu untuk mecapai kebenaran dan kebahagiaan sejati. Manusia juga memerlukan wahyu dan petunjuk agama, yang merupakan dasar bagi kemajuan dunia.
“Barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, serta melampaui batas-batas syari’at-Nya, niscaya Allah memasukkan mereka ke dalam neraka, dan mereka kekal di dalamnya.”
Barang siapa melampaui batasan-batasan yang disyari’atkan Allah. Merusak pagar yang ditegakkan oleh Allah, mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka mereka itu akan dimasukkan ke dalam neraka.
Lafadz “khalidiina” = mereka kekal, memebrikan pengertian bahwa penghuni surga hidup bermasyarakat di dalamnya, adapun lafadz “khalidun”= dia kekal, member pengertian bahwa penghuni neraka hidup sendiri-sendiri, tidak bisa beramah tamah dengan sesamanya.
Melampaui batas-batas syari’at yang menyebabkan orang kekal di dalam neraka adalah terus menerus berbuat dosa dan tidak mau bertaubat. Orang yang berdosa ada dua macam.
1. Orang yang jiwanya dipengaruhi oleh syahwat (kesenangan dunia) dan kemarahan kepada orang lain, sehingga dari hatinya lenyap ketaatan kepada Allah Swt. Baru setelah sadar dan timbul niat dalam hatinya untuk bertaubat kepada Allah karena rasa penyesalan terhadap apa yang tyelah diperbuat, orang yang demikian akan terlepas dari keinginan syahwat, maka masuklah ia ke dalam golongan orang yang mempunyai kecenderungan ke surga.
2. Orang yang nekat melakukan dosa, meskipun ia telah mengetahui haramnya dari apa yang diperbuat, dia lebih mengutamakan dosa daripada ketaatan. Orang yang demikian selit dipalingkan dari larangan dan ancaman. Dia memang telah diliputi oleh lumuran dosa.

“Dan baginya azab yang hina”
Orang yang mendurhakai Allah dan Rasul-nya akan memperoleh azab yang menghinakan, yaitu azab yang menimpa jiwanya. Tiap-tiap pendurhakaan akan ditimpa azab:
1. Adzab jasmani yang menimpa tubuhnya, seperti pedih dan sakit.
2. Adzab nurani yang menimpa perasaan, seperti dihina dan dianggap keji.
Contoh tafsir dengan pendekatan historis-deskriptif
• Biografi Haji Abdul Malik Bin Haji Abdul Karim (Hamka)
Hamka adalah nama singkat dari Haji Abdul Malik Bin Haji Abdul Karim. Beliau lahir di Minangkabau pada 17 Februari 1908, ayahnya adalah seorang reformis di tanah kelahirannya, sedangakn kakeknya adalah mursyid thariqah Naqsabandiyah bermahdzab Syafi’i.
Pendidikannya diawali dari madrasah Tawalib yang didirikan ayahnya, kemudian beliau berguru kepada Syaikh Ibrahim Musa di Bukit Tinggi. Pada tahun 1924 beliau hijrah ke Jawa dan sempat berguru kepada pimpinan gerakan Islam Indonesia H.O.S. Cokroaminoto. Selain itu beliau juga berguru kepada Ki Bagus, Madikusumo dan kakak iparnya Rashid Sultan Mansur.
Keilmuan dan ketokohannya menjadikan dia diambil menjadi dosen di pergurua tinggi Islam, diantaranya adalh IAIN Jakarta, Jogjakarta, Makasar, dan UNiversitas Muhammadiyah Sumatera Barat. Pada tahun 1958 beliau mendapat gelar doctor kehormatan (Honoris of Causa) dari Universitas Al-Azhar Mesir.
Al-Azhar adalah tafsir yang disusun berdasarkan pengalaman sendiri dengan menyeimbangkan naql dan akal secara seimbang, metode yang digunakanadalah bil ma’tsur dan bil ra’yi dengan mengacu pada kitab tafsir Al-Manar, Al-Maraghi, Al-Qasidi, dan Fi Zilalil Qur’an. Tafsir ini memang disusun tidak terlalu tinggi sehingga yang dapat memahmi tidak hanya para ulama saja. Tafsir ini juga tidak terlalu rendah sehingga menjemukan. Tafsir ini diharapakan dapat dipahami oleh pembaca sesuai dengan keragaman penghayatan dan kemampuan pemahaman.
Pendekatan yang digunakan dalam menafsirkan surat An-Nisa' 13-176 adalah:
1. Tekstual-teologis
Menuliskan serangkaian ayat yang akan ditafsirkan yang meliputi suatu tema dari suatu surat berdasarkan tertib mushaf utsman kemudian menempatkan ayat-ayat Al-Qur'an secara eksklusif dalam pemahamannya sebagai benar dan paling benar adanya.
2. Pendekatan perbandingan
Sebagai penguat dari argument tentang Tuhan dan agama Hamka menggunakan data-data dari agama lain yang kemudian dibandingkan satu sama lain, kemudian menyimpulkan sesuai dengan idenya.
3. Pendekatan historis-deskriptif
Menghimpun ayat atau hadits untuk kemudian menghantarkan penyelidikan sejarah sebagai penguat ayat yang ditafsirkan.

Sedangkan secara tampilan teknis tafsir Al-Azhar surat An-Nisa':13-176 mencakup sistematis sebagai berikut:
1. Menuliskan serangkaian ayat yang akan ditafsirkan yang meliputi suatu tema dari suatu surat berdasarkan tertib mushaf utsmani.
2. Dimulai secara global, kandungan ayat dan penjelasan tujuan yang paling mendasar serta pokok ajaran yang dikandungnya.
3. Mengungkapkan kandungan hukum-hukum syar’i disertai dalil fuqaha dan argumennya.
4. Menyisipkan surat lain ataui hadits dalam penafisrannya.
5. Mengkaitkan kata atau ayat dengan kata atau ayat yang ada didekatnya dan bahkan bisa yang tidak berdekatan (munasabah)
Contoh tafsiran tafsir Al-Azhar
Tekstual-teologis dan historis-deskriptif
                                          •              

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
“Dan jika kamu ingin mengganti pasangan dengan pasangan yang lain. Sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka qinthar (harta yang banyak), Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul luas dengan sebagian yang lain. Dan mereka telah mengambil perjanjian yang kuat.”

“Wahai orang-orang yang beriman! Tidak halal bagimu mempusakai wanita dengan jalan paksa”
Dalam berbagai hadits shahih disebutkan bahwa adat jahiliyah memperbolehkan para wanit bisa diwariskan keapada anaknya atau saudaranya, kalau ahli waris menyukai wanita tersebut maka wanita tersebut dinikahi tanpa membayar mahar karena mereka menganggap bahwa maharnya telah dibayar oleh orang yang meninggal, kalau mereka tidak menyukai maka tidak dinikahi tetapi dibiarkan saja sampai mati.

“Janganlah kamu menyusahkan mereka lantaran mereka hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepad mereka”.
Janganlah kamu mencari alasan untuk mengambil harta warisan atau mas kawin yang telah diberikan ileh suaminya dengan cara menyakiti hatinya atau merasa tidak nyaman tinggal di rumah.
Menurut tafsir Ibnu Katsir, kaum Quraisy mempunyai kebiasaan menindas perempuan dengan cara, pertama, mereka menikahi perempuan sebangsa, kemudain setelah merasa bosan perempuan itu dicerai, apabila ada seorang laki-laki yang akan melamar maka harus meminta persetujuan mantan suaminya, kalau tidak maka perempuan itu akan disiksa dan dihalangi untuk menikah lagi dengan maksud memeras atau ganti rugi terhadap apa yang dahulu pernah diberikan kepada perempuan tersebut. Kedua, dengan cara membuat sakit hati perempuan itu, dibuat tidak aman dan nyaman agar pasrah menyerahkan harta yang diberikan oleh mantan suaminya.

“Kecuali mereka melakukan kekejian yang nyata”
Menurut Ibnu Abas, Qatadah dan adh-dhahak, yang dimaksud kekejian yang nyata adalah durhaka kepada suaminya (nusyuz), atau berperangai buruk, kasar dan tidak sopan. Menurut Al-Hasan kekejian yang nyata adalah zina sebagaimana penafisran Abu Muslim Al-Isfahaniy atas ayat 15. Dengan adanya kata kecuali, maka bolehlah kelapangan hidupnya dipersempit (di ‘adhal) atau diceraikan secara baik-baik. Dengan keterangan ini jelaslah bahwa anak-anak perempuan dilindungi dan tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang.

“Pegaulilah mereka dengan cara yang baik”
Pergaulan yang baik di sini adalah pergaulan yang dianggap baik oleh masyarakat. Misalnya, sopan santun, menjadi teladan bagi tetangga. Di sini agama tidak menerangkan secara rinci apa itu ma’ruf. Itu semua dikembalikan kepada sinar iman yang ada di dalam diri kita masing-masing.
Menurut Ibnu Abbas ma’ruf adalah memakai pakaian yang baik dan bersih di hadapan istri dan menyisir rambut.
Menurut riwayat ibnu Mundzir dari Ikrimah, ma’ruf adalah pergaulilah mereka dengan persahabatan yang baik, memberikan makanan dan pakaian yang layak.

“Dan sekiranya kamu tidak senang kepada mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak kepadamu”
Ayat ini mengingatkan kepada para laki-laki (suami) manusia itu tidak ada yang sempurna, pasti ada kekurangan dan cacatnya, untuk itu suami harus menyadari dan menerima kekurangan atau kejelekan istrinya.

“Dan jika kamu bermaksud mengganti seorang istrimu dengan istri yang lain”
Artinya bahwa jika terpaksa juga bercerai denganyang lama dan akan mengganti dengan sitri yang baru. Adapun sebab-sebabnya bercerai ialah urusan pribadi sendiri. Entah bersalah netah tidak, tidak ada orang lain yang akan campur tangan, karena hal itu tergantung kepada pertimbangan masing-masing. “Padahal telah kamu berikan kepada salah seorang mereka serta yang banyak, maka janganlah kamu ambil sedikitpun dari harta itu.” Janganlah demikian kasar budimu, sehingga lantaran isteri kamu ceraikan, lalu harta-harta pemberianmu selama ini, entah perhiasan, entah pakaian, entah alat rumah tangga yang telah kamu berikan sebagai pemberian kepadanya janganlah kamu ambil kembali. Mengambil kembali harta yang telah diberikan kepada istri, karena istri diceraikan, bukanlah akhlak orang beriman. “Apakah (patut) kamu mengambilnya dengan cara yang mengejutkan itu dan dosa yang nyata?”
“Adakah patut perbuatan itu?” kamu telah mengejutkan dia dengan talak, lalu harta yang telah dimilikinya diambil pula. Di sini kalimat buhtanan kita artikan mengejutkan. Talak yang diterimanya tiba-tiba dalam pergaulan yang demikian mesra Cuma karena kamu akan “mengubah-ubah selera” akan beristri baru, adalah amat mengejutkan. Buhtanan berarti juga dusta besar! Memang bercerai cara demikian sama juga dengan membohongi diri sendiri.
Ayat ini adalah pendidikan yang mendalam sekali, yang dapat dijadikan pedoman di dalam menegakkan rumah tangga. Kita sendiri sebagai laki-laki ada cacatnya, sebagaimana istri kita pun ada cacatnya. Seorang yang belajar dari pengalamannya dapatlah meyakinkan, bahwasanya dua raga dan jiwa yang akan mengimbuhi. Pergaulan yang telah berjalan bertahun-thun akan membentuk jiwa yang dua menjadi satu. Suami istri yang sudah bergaul berpuluh-puluh tahun akhirnya menuju persamaan dan keseimbangan. Jika semula nikah si suami seorang yang pemarah dan si istri seorang yang sangat dingin perasaan, akhirnya dalam pergaulan bertahun-tahun itu si suami akan berangsur-angsur menjadi seorang yang dingin perasaan dan si istri berangsur-angsur menjadi pemarah. Dan kata ahli ilmu jiwa, sampai pun kepada sunnah yaitu raut muka dan pandangan mata dan keduanya menjadi serupa. Dan kedua kekurangan yang lengkap-melengkapi itu akan berkesan pula pada anak-anak. Kian lama kian nyata kesatuan pandangan hidupd dan kesatuan rasa. Suami-istri yang telah hidup bertahun-tahun samapi jadi satu perasaan. Jika suami dalam perjalanan ke negeri lain, di suatu hari akan merasa kurang enak perasaan. Sebabnya di tidak tahu. Kemudian setelah pulang baru dia tahu, bahwa ketika perasaannya tidak enak di perantauan itu, memang istrinya di rumah ditimpa sakit. Demikian pula sebaliknya.
Ada laki-laki yang sebentar beristri lalu cerai dan lalu menikah lagi. Tiap istrinya itu tidak memuaskannya, karena ada saja cacatnya. Lantaran itu maka sampi tuanya dia tidak pernah merasai ketenangan hati. Yang lepasa hanyalah nafsu mudanya. Padahal sahwat zaman muda itu berbatas juga adanya. Pada masa tua, niscaya jasmani rohani sudah meminta ketenteraman diri dan itu hanya akan didapat pada pergaulan puluhan tahun. Kedua belah pihak sudah mengetahui kemauan masing-masing, sehingga jiwa laksana sudah siap berpadu menjadi satu.

• Biografi Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Quraish Shihab lahir di Sulawesi Selatan, terdidik di pesantren dan memerlukan pendidikan tingginya di Mesir pada Universitas Al-Azhar di mana beliau menerima gelar MA dan Ph. D-nya. Hal ini menjadikan beliau terdidik lebih baik dengan semua pengarang lainnya yang terdapat dalam Popular Indonesia Literature of The Qur’an, dan lebih dari itu, tingkat pendidikan tingginya di Timur Tengah menjadikan beliau unik bagi Indonesia, pada saat di mana sebagian pendidikan pada tenggat itu diselesaikan di barat. Beliau mempunyai karir mengajar yang penting di IAIN Ujung Pandang dan Jakarta, bahkan beliau sempat menjabat sebagai Rektor IAIN Jakarta.
Al-Misbah adalah kitab tafsir yang disusun dengan cara menghimpun dari berbagai kitab tafsir besar secara rinci, ringkas, kronologis dan sitematis, sehingga menjadi jelas dan tugas yang diharapkan menjadi pendorong bagi umat Islam unutk mengetahui esensi kitabnya sehingga dapat mengantar mereka kea rah sirat al-mustaqim sekaligus untuk memberi penjelasan secara langsung bahwa tafsir ini dianggap telah mewakili tradisi pemikirab tafsir Al-Qur'an di dunia Islam karena tafsir ini memadukan ulama tafsir dari kalangan mutaqaddimin maupun mautakalimin dan para ahli di bidangnya.
Dalam menafsirkan surat An-Nisa':13-176 Quraish Shihab memadukan antara sistematika model lama dan modern dengan lengan menerapkan metode analisa.
1. Uraian secara lafadz dengan berpegang pada pandangan ahli-ahli tafsir dan bahasa,
2. Pembahasan dari segi gramatika bahasa dan i’rab dengan jelas dan ringkas’
3. Penafsiran ayat, yang meliputi segi rahasia-rahasianya, faedah-faedahnya, dari segi ilmu sastra dan ilmu lainnya.
4. Mengungkapkan kandungan hukum syar’i disertai dalil fuqoha’ dan argument mereka.
Selain menggunakan metode analisa Quraish Shihab menggunakan kompilasi antara yang tekstual dan rasional dan menghimpun sejumlah ulama kenamaan dengan kitab tafsir monumental diantaranya adalah At-Thabari, Ibnu Katsir, Sayyid Quthub, Muhammad Ali Ash-Shabuni, Muhammad Sayyid Thantawi, Mutawali Asy-Sya’rawi Fakhruddin ar-Razi dan tafsir Al-Manar.
Sedangkan secara tampilan teknis tafsir Al-Misbah surat An-Nisa':13-176 mencakup langkah sistematis sebagai berikut:
1. Menuliskan serangkaian ayat yang akan ditafsirkan yang meliputi suatu tema dari masalah suatu surat berdasarkan tertib mushaf utsmani.
2. Dimulai secara global kandangan surat dan penjelasan tujuan yang paling mendasar serta pokok-pokok ajaran yang dikandung di dalamnya.
3. Pemaparan aspek sastrawi dari segi tata bahasa, disertai tata bahasa, disertai penjelasan bahasa Arab yang menguatkan.
4. Mengungkapkan kandungan hukum-hukum syar’i disertai dalil fuqoha dan argument mereka.
5. Penafsiran ayat yang meliputi segi rahasianya, faedah-faedahnya, dan dari segi ilmu yang lain.
6. Mengkaitkan kata atau ayat dengan kata atau ayat yang ada didekatnya, bahkan bisa yang tidak berada di dekatnya.
Adapun pendekatan yang digunakan oleh Quraish Shihab dalam Al-Misbah adalah sebagai berikut:
1. Tekstual-teologis
Menuliskan serangkaian ayat yang akan ditafsirkan yang meliputi suatu tema dai suatu surat berdasarkan tertib nushaf utsmani, kemudian menempatkan ayat-ayat Qur’an secara eksklusif dalam pemahamannya. Sebagai benar dan paling benar adanya.
                                       •     
“Para laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka) wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya. Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.”
Ayat yang lalu (ayat 32) melarang berangan-angan sert iri menyangkut keistimewaan masing-masing manusia, baik pribadi maupun kelompok atau jenis kelamin. Keistimewaan yang dianugerahkan Allah itu antara lain karena masing-masing mempunyai fungsi yang harus diembannya dalam masyarakat, sesuai dengan potensi dan kecenderungan jenisnya. Karena itu pula, ayat 32 mengingatkan bahwa Allah telah menetapkan bagian masing-masing menyangkut harta warisan, di mana terlibat adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Kini, fungsi dan kewajiban masing-masing jenis kelamin, serta latar belakang perbedaan itu disinggung oleh ayat ini dengan menyatakan bahwa: Para lelaki yakni jenis laki-laki atau suami, adalah qawwamun pemimpin dan penanggung jawab atas para wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dank arena mereka, yakni laki-laki secara umum atau suami telah menafkahkan sebagian dari harta mereka untuk membayar mahar dan biaya hidup untuk istri dan anak-anaknya. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah taat kepada Allah dan juga kepada suaminya, setelah mereka bermusyawarah bersama dan atau bila perintahnya tidak bertentangan dengan perintah Allah serta tidak mencabut hak-hak pribadi isterinya. Di samping, itu ia juga memelihar diri, hak-hak suami dan rumah tangga ketika suaminya tidak di tempat, oleh karena Allah telah memelihara mereka. Pemeliharaan Allah terhadap para istri antara lain dalam bentuk memelihara cinta suaminya ketika suami tidak di tempat, denagn cinta yang lahir dari kepercayaan suami terhadap istrinya.
Karena tidak semua istri taat kepada Allah – demikian juga suami – maka ayat ini memberi tuntunan kepada suami, bagaimana seharusnya bersikap dan berlaku terhadap istri yang membangkang. Jangan sampai pembangkangan mereka berlanjut, dan jangan sampai juga sikap suami berlebihan sehingga mengakibatkan runtuhnya kehidupan rumah tangga.
Petunjuk Allah itu adalah: Wanita-wanita yang kamu khawatirkan yakni sebelum terjadi nusyuz mereka, yaitu pembangkangan terhadap hak-hak yang dianugerahkan Allah kepada kamu, wahai para suami, maka nasehatilah mereka pada saat yang tepat dan dengan kata-kata yang menyentuh, tidak menimbukan kejengkelan, dan bila nasehat belum mengakhiri pembangkangannya maka tinggalkanlah mereka bukan dengan keluar dari rumah, tetapi di tempat pembaringan kamu berdua, dengan memalingkan wajah dan membelakangi mereka. Kalau perlu tidak mengajak berbicara paling lama tiga hari berturut-turut untuk menunjukkan rasa kesal dan ketidakbutuhanmu kepada mereka – jika sikap mereka berlanjut – dan kalau inipun belum mempan, maka demi memelihara kelanjutan rumah tanggamu maka pukullah mereka, tetapi pukulan yang yang tidak menyakitkan agar tidak mencederainya namun menunjukkan sikap tegas. Lalu jika mereka telah mentaati kamu, baik sejak awal nasehat atau setelah meninggalkannya di tempat tidur, atau saat memukulnya, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya, dengan menyebut dan mengecam lagi pembangkangannya yang lalu. Tetapi tutuplah lembaran lama itu dan buka lembaran yang baru dengan musyawarah dalam segala persoalan rumah tangga. Bahkan kehiduan bersama. Sesungguhnya Allah sejak dahulu hingga kini Maha Tinggi lagi Maha Besar. Karena itu, merendahlah kepada Allah dengan menatai perintah-Nya dan jangan merasa angkuh apalagi membangkang bila perintah itu datang dari Allah Swt.
Kata (الرجال) ar-rijal adalah bentuk jamak dari kata (رجل) rajul yang biasa diterjemahkan lelaki, walaupun Al-Qur'an tidak selalu menggunakannya dalam artinya tersebut. Banyak ulama yang memahami kata ar-rijal dalam ayat ini dalam arti para suami. Penulis tadinya ikut mendukung pendapat itu. Dalam buku “Wawasan Al-Qur'an”, penulis kemukakan bahwa ar-rijalu qawwamuna ‘alan nisa’i, bukan berarti lelaki secara umum karena konsideran pernyataan di atas, seperti ditegaskan pada lanjutan ayat, adalah “karena mereka (para suami) menafkahkan sebagian harta mereka” yakni untuk istri-istri mereka.
Seandainya yang dimaksud dengan kata “lelaki” adalah kaum pria secara umum. Maka tentu konsiderannya tidak demikian. Lebih-lebih lagi lanjutan ayat tersebut dan ayat berikutnya secara amat jelas berbicara tentang para istri dan kehidupan rumah tangga. Demikian yang penulis tulis beberapa tahun lalu.
Tetapi kemudian penulis menemukan tulisan Muhammad Thahir ibn Asyur dalam tafsirnya mengemukakan satu pendapat yang amat perlu dipertimbangkan yaitu bahwa kata ar-rijal tidak digunakan oleh bahasa Arab. Bahkan bahasa Al-Qur'an, dalam arti suami. Berbeda dengan kata (النساء) an-nisa atau (امراة) imra’ah yang digunakan untuk makna istri.
Kata (قولمون) qawwamun adalah bentuk jamak dari kata qawwam, yang terambil dari kata qama. Kata ini berkaitan dengannya. Perintah shalat – misalnya – juga menggunakan akar kata itu. Perintah tersebut bukan berarti perintah mendirikan shalat, tetapi melaksanakannya dengan sempurna, memenuhi segala syarat, rukun, dan sunah-sunahnya. Seorang yang melaksanakan tugas dan atau apa yang diharapkan darinya dinamai (قائم) qa’im. Kalau ia melaksanakann tugas itu sesempurna mungkin, berkesinambungan dan berulang-ulang, maka dia dinamai qawwam. Ayat di atas menggunakan bentuk jamak yakni qawwamun sejalan dengan makna kata (الرجال) ar-rijal yang berarti banyak lelaki. Seringkali kata ini diterjemahkan dengan pemimpin. Tetapi – seperti terbaca dari maknanya di atas – agaknya terjemahan itu belum menggambarkan seluruh makna yang dikehendaki, walau harus diakui bahwa kepemimpinan merupakan satu aspek yang dikandungnya. Atau dengan kata lain dalam pengertian “kepemimpinan” tercakup pemenuhan kebutuhan, perhatian, pemeliharaan, pembelaan dan pembinaan.
Kepemimpinan untuk setiap unit merupakan suatu yang mutlak, lebih-lebih bagi setiap keluarga, karena mereka selalu bersama dan merasa memiliki pasangan dan keluarganya. Persoalan yang dihadapi suami istri seringkali muncul dari sikap jiwa yang tercermin dalam keceriaan wajah atau cemberutnya, sehingga persesuaian dan perselisihan dapat muncul seketika, tai boleh jadi juga sirna seketika. Kondisi seperti ini membutuhkan adanya seorang pemimpin, melebihi kebutuhan satu perusahaan yang bergelut dengan angka-angka, bukan dengan perasaan, serta diikat oleh perjanjian rinci yang dapat diselesaikan melalui pengadilan.

2. Historis-deskriptif
                                     
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa[278] dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang Telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata[279]. dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Kini setelah berbicara tentang perzinaan dan sanksi serta anjuran bertaubat dan ancaman sanksinya, ayat di atas kembali berbicara tentang kewarisan. Boleh jadi, pembiacaraan tentang perzinaan dan kekufuran yang dikecamnya itu, sbegai isyarat bahwa anak-anak hasil perzinaan atau kekufuran seseorang adalah faktor-faktor yang mengakibatkan terhalanginya kearisan.
Tidak sedikit adat buruk masyarakat Jahiliyah, antara lain apabila seorang wafat meninggalkan istri, maka anaknya datang kepada bekas istri ayahnya itu yang merupakan ibu tirinya, atau datang salah seorang keluarga bekas suaminya meletakkan pakaiannya pada bekas istri itu, dan bila demikian, maka yang bersangkutan telah lebih berhak memperistrikannya dari orang lain sejak itu kebebasan wanita itu atas dirinya telah diambil oleh anak sang ayah atau keluarganya itu. Jika mereka ingin mengawininya, maka itu dilakukan tanpa membayar mahar dengan alasan mahar yang dibayar sang ayah bekas suaminya sudah cukup untuknya, dan kalau dia tidak mengawininya, maka wanita itu dibiarkan bahkan dipersulit keadaannya, sehingga guna memperoleh kebebasan, janda itu terpaksa membayar dengan warisan yang diperolehnya. Penggalan awal ayat meluruskan kesesatan itu dengan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal, yakni tidak dibenarkan dengan alasan apapun bagi kamu berlaku seperti kelakuan orang-orang yang tidak beriman yang mempusakai harta atau diri wanita dengan jalan paksa, yakni dengan memaksa mereka, atau dalam keadaan mereka terpaksa oleh satu dan lain sebab.
Selanjutnya, masyarakat Jahiliyah tidak jarang menghalangi wanita, apalagi bekas istri mereka untuk kawin, atau jika tidak mencintai istrinya lagi mereka tidak menceraikannya dan dalam saat yang sama tidak pula memperlakukan mereka dengan wajar seagai istri dengan tujuan memperoleh imbalan materi. Penggalan kedua ayat di atas melarang adat buruk itu dengan firman-Nya: dan janganlah kamu menyusahkan mereka dengan menghalangi wanita-wanita yang telah bercerai dengan kamu, atau ditinggal mati suaminya untuk kawin dan tidak juga memperlakukan istri kamu dengan wajar karena kamu hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, yakni maskawin, atau mengambil warisan yang diperolehnya dari bekas suaminya. Janganlah kamu menyusahkan mereka oleh sebab apapun, kecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata, misalnya berzina atau nusyuz atau pacaran dengan pria lain atau semacamnya, maka ketika itu kamu dapat mengambil sebagian apa yang telah diterimanya sebagai maskawin kepadamu. Dan bergaullah dengan mereka secara ma’ruf yakni patut, bersikap dan berucap yang baik dan wajar kepadanya.
Selanjutnya jika kamu masih cinta kepadanya, asah dan asuhlah cinta itu, tetapi jika kamu tidak lagi menyukai mereka, maka bersabarlah dan jangan cepat-cepat menceraikannya, karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, termasuk tidak menyukai pasanganmu dalam beberapa sifat padahal Allah menjadikan padanya, yakni apa yang tidak kamu sukai itu atau pada diri pasanganmu itu sifat-sufat lain yang merupakan kebaikan yang banyak.
(تعضلوهن) Ta’dhuluhunna terambil dari kata ‘adhl. Kata (عضل) ‘adhl yang diterjemahkan di atas dengan menyusahkan, pada mulanya berarti menahan. Ayam yang terhalang keluar telurnya, atau unta yang sulit melahirkan dilukiskan dengan kata tersebut. Karena itu, kata ini dapat diartikan menghalangi yakni menghalangi mereka kawin, atau melakukan hal-hal yang mengakibatkan mereka mendapat kesulitan, baik dengan melarangnya kawin, membiarkannya terkatung-katung, atau kesulitan apapun.
Kata (الا ان يأتين بفاحشة مينه) illa an ya’tina bi fahisyatin mubayyinah, yang diterjemahkan di atas dengan kecuali bila mereka melakuikan pekerjaa keji yang nyata, dst. Terjemahan dan penjelasannya seperti itu, karena kata (الا) illa dipahami dalam arti kecuali. Ada juga yang memahami kata illa dalam arti tetapi dan ketika itu penggalan ayat tersebut dipahami dalam arti “Janganlah kamu menyusahkan mereka untuk mengambil sebagian dari apa yang kamu telah berikan, tetapi jika mereka melakukan perbuatan keji, maka ketika itu kamu boleh mengambil sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka.”
Perbuatan keji yang dimaksud oleh ayat ini dipahami oleh sementara ulama dengan zina, tetapi pendapat yang lebih kuat adalah yang dikemukakan di atas. Memang boleh jadi ada istri yang sengaja melakukan nusyuz, angkuh atau melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak wajar, dengan harapan agar suaminya menceraikannya, dan sesaat sesudah itu, ia kawin dengan pria yang dicintainya. Maka untuk mencegah hal tersebut, dan agar tidak merugikan suami, Allah membenarkan suami mengambil langkah agar ia tidak kehilangan dua kali, pertama kehilangan istri dan kedua kehilangan maskawin. Demikian penggalan ayat ini, disamping mengingatkan suami, menguntungkan istri, sekaligus memelihara hak-hak suami.
Firman-Nya; Dan bergaullah dengan mereka secara ma’ruf, ada ulama yang memahaminya dalam arti perintah utuk berbuat baik kepada istri yang dicintai maupun tidak. Kata (معروف) ma’ruf mereka pahami mencakup tidak mengganggu, tidak memaksa, dan juga lebih dari itu yakni berbuat ihsan dan berbaik-baik kepadanya. Asy-Sya’rawi memiliki pandangan lain. Dia menjadikan perintah di atas tertuju kepada para suami yang tidak mencintai lagi istrinya. Ulama Mesir yang baru saja wafat itu (tahun 1999) membedakan antara muwaddah yang seharusnya menghiasi hubungan suami istri dengan ma’ruf yang diperintahkan di sini. Al-mawaddah menurutnya, adalah berbuat baik kepadanya, merasa senang bersamanya, serta bergembira dengan kehadirannya, sedang ma’ruf tidak harus demikian. Mawaddah pastilah disertai dengan cinta, sedangkan ma’ruf tidak mengharuskan adanya cinta.
Apa yang dikemukakan asy-Sya’rawi di atas, sungguh tepat. Bahkan mawaddah yang diharapkan terjalin antara suami istri, bukan saja dalam arti cinta, tetapi ia adalah cinta plus. Al-Biqa’i mengemukakan bahwa akar kata (مودة) mawaddah mengandung makna “kelapangan dan kekosongan”. “Ia adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk”. Mawaddah adalah cinta plus, karena yang sekedar mencintai sekali-sekali hatinya mendongkol terhadap kekasih atau kesal kepada yang dicintainya. Mawaddah tidak demikian, ia adalah cinta yang tampak buahnya dalam sikap dan perlakuan baik, serupa dengan kepatuhan sebagai hasil rasa kagum.
Kendati al-Biqa’i menjelaskan arti mawaddah itu, tetapi juga sebagaimana ulama-ulama tafsir yang lain – memahaminya dalam ati “ucapan, perbuatan, tidur bersama, nafkah, dan mawaddah, sesuai dengan ketentuan agama”.
Kembali kepada asy-Sya’rawi. Ulama ini mengingatkan kaum muslimin tentang makna ma’ruf di atas, agar kehidupan rumah tangga tidak berantakan hanyak karena cinta suami istri telah pupus. Walau cinta putus, tetapi ma’ruf masih diperintahkan. Ketika ada seorang yang bermaksud menceraikan istrinya dengan alasan ia tidak mencintainya lagi, Umar ibn al-Khattab mengecamnya sambil berkata, “Apakah rumah tangga hanya dibina atas dasar cinta? Kalau demikian, mana nilai-nilai luhur? Mana pemeliharaan, mana amanat yang engkau terima?”
Firman-Nya: boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak, berbeda dengan friman-Nya pada surat al-Baqarah (2): 216: “Boleh jadi kamu tidak suka kepada sesuatu, padahal ia baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia buruk bagimu”, ini karena pembicaraan dalam al-Baqarah ditujukan kepada mereka yang memiliki dua macam perasaan yang bertolak belakang. Mereka tidak suka terlibat dalam peperangan, tetapi suka meraih keamanan namun dengan mengabaikan jihad, karena itu disana disebutkan kedua hal yang bertolak belakang itu. Adapun dalam ayat yang ditafsirkan ini, maka ia ditujukan untuk yang hanya memiliki satu perasaan, yaitu perasaan tidak senang, maka yang disebutkan hanya sisi yang mereka tidak senangi itu. Di sisi lain, ayat ini tidak berkata: Bila kamu tidak menyukai mereka, padahal Allah menjadikan pada mereka kebaikan yang banyak. Tetapi ayat ini menjadikan kebaikan itu menyeluruh, menyangkut segala sesuatu, termasuk pasangan yang tidak disukai itu.
Peringatan yang dikandung oleh pernyataan ayat ini bertujuan agar suami tidak cepat-cepat mengambil putusan menyangkut kehidupan rumah tangganya, kecuali setelah menimbang dan menimbangnya, karena nalar tidak jarang gagal mengetahui akibat sesuatu.


Catatan Kritis

Dalam pembahasan kali ini kami hanya akan mengangkat masalah qawwamun, nusyuz dan poligami (yang merupakan isu penting dalam diskusi feminisme) yang mengacu pada ke-3 tafsir dalam makalah ini, disamping itu penulis juga akan mengambil pendapat para tokoh feminisme sebagai kajian perbandingan.
1. Nusyuz
 Nusyuz menurut ketiga tafsir dalam menafsiri ayat 34 adalah membangkang atau tidak patuh terhadap suami, sedangkan kata nusyuz dalam ayat 128 adalah kejam (tidak berlaku baik), tidak mendekati atau memberi nafkah atau mengganti secara kasar.
 Nusyuz menurut Amina Wadud artinya gangguan keharmonisan keluarga, sebagaimana terdapat dalam tafsir fi zilatil Qur’an (Sayyid Quthb)
Menurut para tokoh feminisme nusyuz tidak bisa diartikan ketidakpatuhan istri terhadap suami ketika merujuk kepada perempuan, dan suami bersikap keras terhadap istri atau tidak memberi haknya ketika disandarkan kepada laki-laki.
Ketika bicara tentang nusyuz biasanya para penafsir akan akan merujuk QS. An-Nisa: 34. Secara umum ayat tersebut ditafsirkan sebagai legitimasi kepemimpinan laki-laki atas perempuan dan jika terjadi pembangkangan (nusyuz) maka laki-laki melakukan tindak kekerasan terhadap istri. Sebab di dalam ayat tersebut seolah ada perintah untuk memukul perempuan. Ini adalah salah satu dampak penafsiran atomistik dan parsial. Sebab ketika kita mencoba menghubungkan ayat tersebut dengan ayat yang menyuruh kita untuk semaksimal mungkin berbuat baik kepada istri (QS. An-Nisa: 19) niscaya kita akan menghindari pemukulan tersebut.


Analisis
Ketiga tafsir menggunakan pendekatan tekstual-teologis dan historis-diskripstif yang dianggap oleh para tokoh feminis adalah bias gender. Sementara itu para tokoh feminis menggunakan pendekatan historis kritis-kontekstual, artinya sumber-sumber yang dipraktikkan betul-betul dikritisi, dilihat bagaimana setting historisnya dan bagaimana teks itu dipahami.

2. Ar-rijaal qawwaamuun ‘ala an-nisa
 Kata (قولمون) qawwamun adalah bentuk jamak dari kata qawwam, yang terambil dari kata qama. Perintah shalat juga menggunakan akar kata itu. Perintah tersebut bukan berarti perintah mendirikan shalat, tetapi melaksanakannya dengan sempurna, memenuhi segala syarat, rukun, dan sunah-sunahnya. Ayat ini menggunakan bentuk jamak yakni qawwamun sejalan dengan makna kata (الرجال) ar-rijal yang berarti banyak lelaki. Seringkali kata ini diterjemahkan dengan pemimpin.
 Kata qawwamun menurut Rifat Hasan, lebih merupakan pernyataan yang menegaskan pembagian kerja fungsional yang diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan dalam masyarakat.
 Menurut mufassir kontemporer keunggulan laki-laki atas perempuan yang tertera dalam teks “ar-rijaal qawwamun ‘ala an-nisa” tidaklah bersifat absolute melainkan bersifat relatif.

Analisis
Sebagaimana dikatakan Fazlurahman, teks-teks Al-Qur'an dalam pewahyuannya tidak terlepas dari konteks sosio-historisnya. Oleh karenanya dalam memahami teks keagamaan haruslah dilihat dalam konteks sosio-historis yang tepat. Benar secara literalistic banyak ayat-ayat Al-Qur'an yang memberi kesan adanya kecenderungan hirarkis dalam memperlakukan laki-laki.

3. Poligami
 Poligami adalah salah satu isu yang sering diangkat dalam diskusi tantang feminisme. Orang beranggapan bahwa Al-Qur'an memperlakukan perempuan dengan cara tidak adil, karena memperbolehkan poligami. Namun demikian ada hal-hal yang pelru dicatat di dalam Al-Qur'an hanya ada satu ayat tentang poligami yaitu QS. An-Nisa: 3.
Menurut Riffat Hasan ayat tersebut sering ditafsirkan secara tidak tepat oleh kebanyakan orang, bahkan di salah pahami, sehingga seakan-akan seorang diperbolehkan begitu saja melakukan poligami, tanpa memperhatikan konteks ketika turunnya ayat tersebut dan apa sesungguhnya ideal moral (ruhatan semangat) poligami.
Menurut Sahrur sesungguhnya poligami terkait dengan konteks yang sangat darurat dan pada dasarnya Islam menganut prinsip monogamy.

Analisis
Dengan menggunakan pendekatan historis kritis-kontekstual dalam memahami atau menafsiri An-Nisa: 3 kita dapat memperoleh gambaran bahwa tujuan yang diidealkan Al-Qur'an adalah untuk menyantuni janda dan anak yatim.


Penutup
Setelah melakukan studi dan analisis kritis terhadap tiga tafsir dalam menafsirkan surat An-Nisa 13 – 176 kami mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Menggunakan pendekatan tekstual-teologis yang berdampak pada bias patriarkis.
2. Karena faktor sosialogis, pendidikan politik dan psikologis mufassir berbeda maka corak tafsirannya berbeda, tetapi saling melengkapi walaupun ada beberapa persamaan.
3. Para mufassir mengajak pembaca untuk memahami dan mnyelami kandungan Al-Qur'an kemudian dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Kesimpulan
Karya-karya yang dibahas dalam makalah ini meneliti beberapa persamaan. Diantara persamaan itu antara lain:
1. Tafsir tersebut sangat tergantung kepada terminologi dan konsep-konsep Arab, hal ini disebabkan untuk mengusai ilmu tafsir terlebih dahulu kita harus mengetahui bahasa Arab dan gramatikanya sebagai bahasa yang digunakan Al-Qur'an, selain itu kita harus mengetahui sosiohistoris bangsa Arab.
2. Tafsir tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu menawarkan kepada kita satu dimensi selain tentang posisi Al-Qur'an dalam keyakinan dan praktik umat Islam di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon dengan sangat bagi para pengunjung situs ini untuk memberikan kritik dan saran serta komentar terhadap posting dan artikel kami!